Semarang?
Sudah hampir 10 bulan saya tinggal di Semarang. Sudah cukup lama. Seharusnya sudah cukup untuk membuat saya merasa betah. Ya, saya betah. Sangat betah. Apalagi ini tanah kelahiran saya. Apalagi s\ini tanah tempat keluarga saya berkumpul. Apalagi ini (pernah) merupakan tempat liburan favoritku.
Aku mencintai tanah Semarang.
Tapi tidak, aku belum ingin menjadi bagian dari tanah Semarang. Aku belum ingin mengalir dalam nadinya, aku belum inigni menyelaraskan denyutku dengan denyutnya, aku belum ingin tenggelam di dalamnya.
But, a house is not a home. And Semarang is not a home, definitely not yet.
Waktu pertama kali Bapak saya mengatakan kami akan pindah ke Seamrang, semuanya baik-baik aja. Saya ngga maslaah Bapak saya pensiun dini. Saya ngga masalah kami hanya hidup dari uang pensiun dan hasil warung. Saya ngga masalah kami pindah ke Semarang. Itu semua asyik kok, petualangan hidup.
Lalu, saya ngga diterima di UGM. Keceriaan saya goyah.
Lalu, sekolah usai. Liburan panjang yang dilalui dengan mengepak barang-barang di rumah ke dalam dus. Saya goyah lagi. Saya lelah memasukan barang yang seolah ngga ada habisnya. Saya lelah menghadapi pertanyaan orang-orang sekitar. Saya lelah sedih sendirian karena gagal masuk UGM - karena kedua orangtua dan adik saya senang.
Lalu, perpisahan sekolah. Seolah-olah perpisahan yang dibuat untuk saya sendiri. Saya sembunyikan perasaan itu, sampai saat ini.
Lalu, retreat gereja. Seolah-olah perpisahan yang dibuat untuk saya sendiri. Kali ini saya lepas kendali. Di tengah acara renungan saya mengasi terisak-isak sampai pendeta saya bingung. Saya malu karena seharusnya saya bisa membuat orang di sekitar saya ceria, bagaimanapun keadaan saya. Saya juga sempat menangis bersama teman-teman pengurus remaja. Sampai sekarang masih terbayang airmata mereka untuk saya. Sampai sekarang masih terasa sentuhan hangan mereka. Kejadian itu baru kemarin!
Lalu, seminggu terakhir sebelum pindah. Teman-teman datang bergantian ke rumah. Farewell. Teman Bapak, bekas tetangga kami, mengadakan pesta di rumah barunya. Farewell khusus buat kami. Farewell. Farewell. Farewell. Farewell. Farewell. Farewell.
Lalu, satu hari sebelum hari yang seharusnya jadi hari terakhir kami. Sahabat-sahabatku datang dan membantu, dari pagi sampai sore. Menyenangkan, tapi menyakitkan juga.
Lalu, hari yang seharusnya jadi hari terakhir kami. Dimas dan keluarganya datang. Mereka naik mobil jip yang mereka tau saya suka banget. Itu luar biasa buat saya. Mereka membantuk mengepak dan segala macam, dari sore sampai malam. Kami makan bareng, kami ketawa-ketawa bareng. Sedikit kehangatan untuk malam itu. Satu sepeda kami tinggalkan untuk mereka. Satu kenang-kenangan kecil, buat saya, buat mereka.
Lalu, hari terakhir kami. Tetangga-tetangga terdekat berkumpul di rumah. Semua menangis. Ya, semua. Bahkan bapak-bapak jagoan itu. Dan sekarang saya mulai menangis juga. Di mobil, saya engga menangis lagi. Saya berusaha berpikir bahwa ini adalah satu liburan ke Semarang, liburan yang teramat panjang.
Lalu, hari-hari berat menata rumah. Saya tidak punya energi untuk menangis.
Lalu, hari-hari di mana saya terbiasa tinggal di sini. Saya betah. Tapi setiap Minggu, setiap ke gereja, saya pasti menangis.
Saya cengeng. Saya setuju.
Saya punya sedikit alasan untuk membenarkan diri, seperti selayaknya orang bersalah. Saya sudah tinggal di Serpong sejak saya kelas 1SD, berarti sejak saya bisa mengingat detil-detil dalam hidup saya, sampai kelas 12SMA, berarti sampai saya harus ke Semarang untuk kuliah di UNDIP, berarti...saya tinggal di sana seumur hidup saya. Berarti itu kehidupan saya.
Ketika kehidupan saya direnggut dari saya, saya percaya bahwa sesuatu yang lebih asyik ada. Tapi itu butuh waktu, dan waktu siapa yang tahu?
Many times I whispered this hope, a house is simply a home. They were just whisperings though..
Aku mencintai tanah Semarang.
Tapi tidak, aku belum ingin menjadi bagian dari tanah Semarang. Aku belum ingin mengalir dalam nadinya, aku belum inigni menyelaraskan denyutku dengan denyutnya, aku belum ingin tenggelam di dalamnya.
But, a house is not a home. And Semarang is not a home, definitely not yet.
Waktu pertama kali Bapak saya mengatakan kami akan pindah ke Seamrang, semuanya baik-baik aja. Saya ngga maslaah Bapak saya pensiun dini. Saya ngga masalah kami hanya hidup dari uang pensiun dan hasil warung. Saya ngga masalah kami pindah ke Semarang. Itu semua asyik kok, petualangan hidup.
Lalu, saya ngga diterima di UGM. Keceriaan saya goyah.
Lalu, sekolah usai. Liburan panjang yang dilalui dengan mengepak barang-barang di rumah ke dalam dus. Saya goyah lagi. Saya lelah memasukan barang yang seolah ngga ada habisnya. Saya lelah menghadapi pertanyaan orang-orang sekitar. Saya lelah sedih sendirian karena gagal masuk UGM - karena kedua orangtua dan adik saya senang.
Lalu, perpisahan sekolah. Seolah-olah perpisahan yang dibuat untuk saya sendiri. Saya sembunyikan perasaan itu, sampai saat ini.
Lalu, retreat gereja. Seolah-olah perpisahan yang dibuat untuk saya sendiri. Kali ini saya lepas kendali. Di tengah acara renungan saya mengasi terisak-isak sampai pendeta saya bingung. Saya malu karena seharusnya saya bisa membuat orang di sekitar saya ceria, bagaimanapun keadaan saya. Saya juga sempat menangis bersama teman-teman pengurus remaja. Sampai sekarang masih terbayang airmata mereka untuk saya. Sampai sekarang masih terasa sentuhan hangan mereka. Kejadian itu baru kemarin!
Lalu, seminggu terakhir sebelum pindah. Teman-teman datang bergantian ke rumah. Farewell. Teman Bapak, bekas tetangga kami, mengadakan pesta di rumah barunya. Farewell khusus buat kami. Farewell. Farewell. Farewell. Farewell. Farewell. Farewell.
Lalu, satu hari sebelum hari yang seharusnya jadi hari terakhir kami. Sahabat-sahabatku datang dan membantu, dari pagi sampai sore. Menyenangkan, tapi menyakitkan juga.
Lalu, hari yang seharusnya jadi hari terakhir kami. Dimas dan keluarganya datang. Mereka naik mobil jip yang mereka tau saya suka banget. Itu luar biasa buat saya. Mereka membantuk mengepak dan segala macam, dari sore sampai malam. Kami makan bareng, kami ketawa-ketawa bareng. Sedikit kehangatan untuk malam itu. Satu sepeda kami tinggalkan untuk mereka. Satu kenang-kenangan kecil, buat saya, buat mereka.
Lalu, hari terakhir kami. Tetangga-tetangga terdekat berkumpul di rumah. Semua menangis. Ya, semua. Bahkan bapak-bapak jagoan itu. Dan sekarang saya mulai menangis juga. Di mobil, saya engga menangis lagi. Saya berusaha berpikir bahwa ini adalah satu liburan ke Semarang, liburan yang teramat panjang.
Lalu, hari-hari berat menata rumah. Saya tidak punya energi untuk menangis.
Lalu, hari-hari di mana saya terbiasa tinggal di sini. Saya betah. Tapi setiap Minggu, setiap ke gereja, saya pasti menangis.
Saya cengeng. Saya setuju.
Saya punya sedikit alasan untuk membenarkan diri, seperti selayaknya orang bersalah. Saya sudah tinggal di Serpong sejak saya kelas 1SD, berarti sejak saya bisa mengingat detil-detil dalam hidup saya, sampai kelas 12SMA, berarti sampai saya harus ke Semarang untuk kuliah di UNDIP, berarti...saya tinggal di sana seumur hidup saya. Berarti itu kehidupan saya.
Ketika kehidupan saya direnggut dari saya, saya percaya bahwa sesuatu yang lebih asyik ada. Tapi itu butuh waktu, dan waktu siapa yang tahu?
Many times I whispered this hope, a house is simply a home. They were just whisperings though..
a house is not a home
ReplyDeleteyep, bener banget.
entah, ya. menurut gue ini agak lucu, karena gue pun mengalami hal yang sama kayak elo. gue yang ga terbiasa tinggal di lingkungan yang berbeda (dalam hal ini, kampus), terus tiba-tiba pindah rumah BERTEPATAN dengan kakak gue menikah, dan gue yang mau ga mau harus terbiasa untuk menyesuaikan diri lagi kalau pindah kos..
hari-hari awal gue pindah rumah itu buat gue mikir... dimana rumah gue yang sebenernya?
rumah di Blok G yang mungil, rumah di Blok E yang lluas, atau rumah baru di Blok C? segitu, gue cuma pindah blok doang..
dan gue, yang pulang ke kosan dari daerah deket kosan gue yang lama.. yang mana rumah gue...
rasanya begitu..kacau
(maaf, malah membuat tambah 'galau', meskipun gue ga menggolongkan itu sbg galau..)